Sabtu, 27 September 2008
Lebaran
gak kerasa lebaran tinggal bentar lagi,
gak kerasa banyak hal telah dijalani,
gak kerasa banyak dosa yang terlupa,
gak kerasa ...
apa y?,
9 sa la sipikir-pikir lagi
Intiinya Q pengen minta maaf kalau Q da banyak sala ma sMwa,...
Taqqbalallahu minna wa minkum,...
Minal Aidzin Wal Faidzin,...
Jazakumullahu khairan katsiran
Atas maafnya,
Minggu, 21 September 2008
Ehm,...
gara-gara smwa itu Q kHilangan RamadhanQ kLi ini,...
tP akhirnya smwa tu da sLesai n Q bSa bermeSraan d9n RamadhanQ y9 tinGGal 10 hari ini.
Senin, 01 September 2008
'd Carrot, d' egG n 'd coFFeE bEan
Put three pots of water over the fire.
In the first pot, put some carrots.
In the third pot, put some coffee beans that have been grounded into coffee powder.
Boil all three pots for 15 minutes.
Take out what you put in.
The carrots went in hard.
They are now soft.
The eggs went in soft inside.
Now they are hard inside.
The coffee powder has disappeared.
But the water has the colour and the wonderful smell of coffee.
Now think about life.
Life is not always easy.
Life is not always comfortable.
Sometimes life is very hard.
Things don’t happen like we wish.
People don’t treat us like we hope.
We work very hard but get few results.
What happens when we face difficulties?
Now think about the pots.
The boiling water is like the problems of life.
We can be like the carrots.
We go in tough and strong.
We come out soft and weak.
We get very tired.
We lose hope.
We give up.
There is no more fighting spirit.
Don’t be like the carrots!
We can be like the eggs.
We start with a soft and sensitive heart.
We end up very hard and unfeeling inside.
We hate others.
We don’t like ourselves. We become hard-hearted.
There is no warm feeling, only bitterness. Don’t be like the eggs!
Don’t be like the eggs!
We can be like the coffee beans.
The water does not change the coffee powder.
The coffee powder changes the water!
The water has become different because of the coffee powder.
See it.
Smell it.
Drink it.
The hotter the water, the better the taste.
We can be like the coffee beans.
We make something good from the difficulties we face.
We learn new things.
We have new knowledge, new skills, new abilities.
We grow in experience.
We make the world around us better.
To succeed, we must try… and try again.
We must believe in what we are doing.
We must not give up.
We must be patient.
We must keep pushing.
Problems and difficulties give us the chance to become stronger… and better… and tougher.
What are we like when things
do not go well?
Are we like the carrot…
or the egg…
or the coffee bean?
Be like the coffee bean!
CeriTa
Pada minggu-minggu berikutnya dia belajar untuk menahan diri, dan jumlah paku yang dipakainya berkurang dari hari ke hari. Dia mendapatkan bahwa lebih gampang menahan diri daripada memaku di pagar.Akhirnya tiba hari ketika dia tidak perlu lagi memaku sebatang paku pun dan dengan gembira disampaikannya hal itu kepada ayahnya.
Ayahnya kemudian menyuruhnya mencabut sebatang paku dari pagar setiap hari bila dia berhasil menahan diri/bersabar. Hari-hari berlalu dan akhirnya tiba harinya dia bisa menyampaikan kepada ayahnya bahwa semua paku sudah tercabut dari pagar.
SEMUANYA MEMNDANG KE ATAS
Suatu hari, seorang pria di Kota Jakarta berdiri di sebuah pojok jalan yang sibuk. Ia berdiri saja di sana sambil menengadah ke langit. Ketika itu jam-jam sibuk, jadi lama sekali sebelum ia diperhatikan orang berdiri di sana, tetapi begitu ia diperhatikan, banyak yang memperhatikannya. Segeralah berkumpul orang banyak di sekelilingnya, dan semuanya juga berusaha melihat apa yang sedang diamatinya.
Apakah ada pesawat pembom terbang di atas? Apakah akan datang badai yang hebat? Apakah ia melihat malaikat di awan? Seberapa keraspun orang-orang berusaha, mereka tidak melihat sesuatu yang luar biasa. Mereka semakin berdesak-desakan menghimpit orang tersebut untuk memastikan mereka melihat ke arah yang benar. Mereka tutupi mata mereka karena silau, dan mereka semakin memicingkan matanya untuk melihat ke kejauhan. Seorang di antara mereka bahkan mengeluarkan teropongnya. Tetapi tak seorangpun melihat apa yang telah menarik perhatian orang tersebut.
Warga Jakarta jarang sekali berbicara kepada orang yang tidak mereka kenal, tetapi akhirnya, salah seorang di antara mereka tidak tahan lagi.
“HEI BUNG”, katanya, “APA SIH YANG SEDANG KAMU LIHAT?”
Pria itu terkejut. Ia bahkan tidak sadar kalau sudah banyak orang di sekelilingnya.
“BUKAN APA-APA KOK”, jawabnya kalem, sambil terus menengadah ke atas.
“LEHER SAYA KERAM NIH”